Nasional / Lingkungan Hidup /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 12/06/2025 06:00 WIB

Tak Cuma Dicabut Izin, Seret Semua Pelanggar Hukum Yang Merusak Pesona Raja Ampat

Save Raja Ampat
Save Raja Ampat

DAKTA.COM : Pemerintah mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan tersebut diumumkan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dalam konferensi pers secara daring pada Selasa, 10 Juni 2025.

 
Dalam kesempatan yang sama, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan empat IUP yang dicabut yaitu milik PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa dan PT Anugerah Surya Pratama dan PT Nurham. Adapun izin PT Gag Nikel yang berada di Pulau Gag tidak dicabut dan dibiarkan beroperasi.
 
Satu sisi, publik menilai langkah pemerintah yang mencabut izin sejumlah perusahaan tambang tersebut adalah konfirmasi bahwa sejumlah pelanggaran hukum sudah terjadi. Sebab, mustahil tindakan ini diambil jika tidak memiliki bukti bukti yang kuat.
 
Sejumlah perusahaan yang dicabut izinnya, tentu telah menggelontorkan anggaran yang tidak sedikit. Sehingga, jika ada upaya perlawanan dari perusahaan atas keputusan tersebut, pemerintah telah memiliki bukti-bukti yang kuat untuk mempertahankan keputusan.
 
Akan tetapi, dalam perspektif lain publik juga berhak bertanya, kenapa keputusan ini baru diambil, padahal sudah ada bukti-bukti yang dapat dijadikan dasar pencabutan izin menambang? Kemana saja pemerintah selama ini, kenapa baru hadir dan bekerja menyelamatkan Raja Ampat, setelah masyarakat protes dan berteriak keras?
 
Disisi lain, nalar kritis publik juga mempersoalkan keputusan ini. Kenapa keputusan diambil hanya kepada 4 perusahaan? Bukankah, menurut Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, Ada 13 Perusahaan Tambang mendapat izin khusus beroperasi di Raja Ampat, termasuk PT Gag Nikel (PT GN).
 
Lalu apa status 9 perusahaan lainnya? Kenapa PT Gag Nikel (PT GN) yang beroperasi di Pulau Gag tidak ikut dicabut izinnya?
 
Semestinya, tindakan pemerintah tidak sekedar mencabut izin perusahaan tambang tersebut. Bahkan, bukan hanya mencabut izin tambang 4 perusahaan, dan menyelamatkan 9 perusahaan lain yang beroperasi di Raja Ampat.
 
Pemerintah, semestinya melakukan Audit secara menyeluruh, baik audit kinerja, audit keuangan dan audit hukum. Hal itu,  untuk melakukan penelaahan lebih rinci meliputi tindakan:
 
Pertama, Audit kinerja dilakukan dalam rangka untuk memeriksa keseluruhan kegiatan perusahaan tambang di Raja Ampat, sejak perizinan, eksplorasi, eksploitasi dan kegiatan pasca penambangan (reklamasi) sudah dilakukan dan mematuhi seluruh ketentuan peraturan perundangan.
 
Dalam audit ini, orientasinya adalah untuk memastikan siapa saja pejabat dan aparat yang telah melakukan perbuatan melawan hukum dan/atau menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan izin, pengawasan pelaksanaan ekplorasi dan eksploitasi, hingga kegiatan pasca penambangan (reklamasi).
 
Kedua, Audit hukum dilakukan untuk memastikan proses perizinan, eksplorasi, eksploitasi dan kegiatan pasca penambangan (reklamasi), tidak melanggar ketentuan hukum Pidana, Perdata dan Tata Usaha Negara, dan memastikan siapa saja pejabat dan aparat yang terbukti melanggar hukum.
 
Parameternya, bisa dengan mengacu pada UU Lingkungan, UU Kelautan, UU Pesisir Pantai dan Pulau Pulau Kecil, hingga UU Tindak Pidana Korupsi.
 
Ketiga, audit keuangan untuk memastikan adakah penyimpangan dalam pengelolaan keuangan, baik dari sisi permodalan, pendapatan dan kewajiban kewajiban pada negara, termasuk tetapi tidak terbatas pada pajak-pajak, retribusi, royalty, bagi hasil, dan segala hal yang berkaitan dengan keuangan Negara, untuk dipastikan ada tidaknya kerugian Negara dalam proses dan kegiatan penambangan di Raja Ampat.
 
Dalam konteks hukum, pelanggaran hukum yann sangat kasat mata setidaknya dapat kita lihat pada pemanfaatan fungsi area hutan lindung untuk kegiatan pertambangan, pemanfaatan pulau kecil (kurang dari 2000 km) yang terlarang untuk kegiatan pertambangan, dan berbagai kerusakan lingkungan (termasuk pencemaran laut), yang tentunya semuanya berkonsekuensi pidana.
 
Dalam proses perizinan, sudah dapat dipastikan ada kegiatan korupsi dan berbagai gratifikasi, karena izin diberikan untuk wilayah yang secara UU terlarang untuk kegiatan pertambangan. Dalam proses eksploitasi, sudah dapat dipastikan banyak benefit negara yang hilang sehingga Negara dirugikan. Sedangkan dalam konteks dampak lingkungan, sejumlah kerusakan lingkungan jelas-jelas merusak pesona Raja Ampat dan sangat merugikan masyarakat Papua yang banyak mengandalkan kehidupan dari alam.
 
Jangan sampai, pencabutan izin menambang dijadikan modus operandi untuk menyelamatkan para perusak lingkungan. Hanya digunakan untuk meredam kemarahan rakyat, setelah itu kegiatan menambang kembali diaktifkan setelah kemarahan rakyat mereda.
 
Dalam kasus pencabutan izin PT Kawe Sejahtera, semestinya Direksi dan Komisaris perusahaan ini, harus diperiksa. Nono Sampono, Freddy Numberi, Ali Hanafiah Lijaya hingga Aguan tidak boleh diselamatkan dari kasus ini, dengan modus pencabutan izin.
 
Sedangkan PT GAG Nikel tidak boleh diselamatkan dan izinnya dipertahankan, hanya dengan dalih perusahaan ini milik BUMN (Aneka Tambang). Sebab, di perusahaan ini ada Lana Saria yang merupakan Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Kementerian ESDM (orangnya Bahlil Lahadalia) dan sejumlah nama (Ahmad Fahrur Rozi, Hermansyah, dan Saptono Adji) yang harus juga ikut dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
 
Lebih jauh, semestinya Tragedi Raja Ampat ini dapat dijadikan momentum bagi pemerintah untuk melakukan audit menyeluruh terhadap tata kelola pertambangan nasional. Agar kekayaan alam Indonesia ini benar-benar memberikan kontribusi untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan hanya untuk menambah kaya raya Oligarki. [
Reporter : Warso Sunaryo
- Dilihat 115 Kali
Berita Terkait

0 Comments