Nasional / Politik dan Pemerintahan /
Follow daktacom Like Like
Ahad, 31/08/2025 15:00 WIB

Demonstrasi dan Penyegaran Di Tubuh Polri

AKSI
AKSI
DAKTA.COM : Di Indonesia, demonstrasi hampir selalu identik dengan kerusuhan dan kematian. Polisi jadi korban, tapi lebih banyak korban ada di pihak demonstran. Siapa demonstan itu? Mereka adalah mahasiswa, pelajar, buruh, dll. Mereka adalah rakyat. Dari pajak rakyat, presiden, DPR hingga polisi digaji dan diberikan tunjungan yang layak. Mengapa polisi dan rakyat harus berhadap-hadapan dalam kekerasan? Sebuah relasi konfliktual yang tidak rasional. 
 
Polisi mitra dan pelayan masyarakat. Tagline ini sudah benar. Dalam prakteknya, masih cukup besar kendala. Kekerasan antara polisi dan rakyat dalam hampir setiap demonstrasi menunjukkan adanya masalah serius, bahkan mungkin fundamental. Masalah ini yang harus diidentifikasi, lalu direalisasikan solusinya.
 
Trust rakyat kepada polisi cukup rendah. Selain juga kepada para elit politik dan kepada para pengelola negara. Demonstrasi merupakan "public space" bagi rakyat untuk mengekspresikan narasi kekecewaan itu. Sayangnya, ekspresi kekecewaan rakyat seringkali mendapatkan reaksi berlebihan dari aparat, khusunya polisi. Dari sinilah panggung anarkisme terjadi di hampir setiap aksi demonstrasi. Terutama sejak 10 thun rezim Jokowi dimana ada keterbelahan sosial berbasis politik yang terus menerus menciptakan ketegangan, bahkan kekerasan. Ribuan sipil, juga ormas telah jadi korban.
 
Era kekuasaan telah berganti. Dari Jokowi ke Prabowo. Eskalasi ketegangan di panggung demonstrasi belum menunjukkan adanya perubahan. Kerusuhan masih menjadi ritual, benturan antara rakyat dengan aparat, luka dan kematian dianggap kebiasaan. 
 
Siapa yang harus bertanggung jawab atas luka dan kematian rakyat ini? 
 
Selain penegakan hukum, meski seringkali juga tidak tuntas, yang lebih dibutuhkan adalah pentingnya profesionalitas kinerja aparat, khususnya dalam garis komando.
 
Problem kedisiplinan dan profesionalitas meningkatkan tuntutan publik terhadap reformasi di tubuh Polri. Reformasi bisa diawali dengan langkah penyegaran struktural. Kongkritnya?  Perlu resposisi di tubuh Polri, mulai dari tingkat paling atas hingga paling bawah. Strukturalisasi merupakan langkah penyegaran yang paling efektif, karena dapat menjadi spirit profesionalitas dalam kinerja. 
 
Jenderal Listyo Sigit Prabowo diangkat menjadi Kapolri sejak Januari 2021. Hampir empat tahun di era Jokowi dan 11 bulan di era Prabowo. Genap 4,8 tahun. Ini terlalu lama dan dipastikan telah menghambat proses kaderisasi dan regenerasi di tubuh Polri. Tentu, ini tidak sehat dalam organisasi. Wajar jika publik terus menuntut pergantian Kapolri.
 
Jabatan Kapolri, juga Kapolda, Kapolres dan Kapolsek, idealnya satu tahun, maksimal dua tahun. Lebih dari dua tahun, maka regenerasi di Polri akan terganggu. Terganggunya proses regenerasi akan berakibat pada menurunnya kinerja dan profesionalitas Polri. 
 
Banyak perwira polisi yang karirnya stagnan karena terlalu lama tidak ada penyegaran. Perlunya regenerasi ini tidak hanya berlaku di Polri, tapi juga di institusi manapun, termasuk TNI. Stagnasi karir memicu lahirnya kejenuhan yang dapat mempengaruhi kinerja, profesionalitas dan pola instruksional di lapangan.
 
Di Polri, ada banyak perwira yang layak mendapatkan promosi untuk melakukan penyegaran dan pengembangan. Irjen Pol Rudi Darmoko, Kapolda NTT peraih Adhi Makayasa 1993 ini adalah salah satu yang disebut-sebut akan menggantikan Sigit. 
 
Penyegaran di tubuh Polri ini diharapkan dapat memberi pengaruh pada profesionalitas kinerja, termasuk dalam menangani demonstrasi. 
 
Jakatta, 30 Agustus 2025
 
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

 

Reporter : Warso Sunaryo
- Dilihat 116 Kali
Berita Terkait

0 Comments